Babi dan pesta babi di Papua
Pada
kelompok penduduk Papua, dahulu Nieuw-Guinea Belanda , khususnya di
daerah Pegunungan Tengah, babi mempunyai tempat penting. Di pulau ini
binatang mamalia jarang hidup, kecuali babi dan kijang yang dari awal
mula telah dibawa masuk oleh pendatang orang Eropa. Babi liar jenis
Papua mirip babi hutan yang hidup di dalam cagar alam Belanda, hanya
mereka lebih kurus. Babi bukan saja diternakkan untuk dagingnya, tetapi
juga merupakan status simbol bagi si pemilik babi di
masyarakat sehingga semakin banyak babi yang dimiliki seseorang atau
sebuah kampung, semakin tinggi pula statusnya, semakin banyak yang dapat

dihadiahkannya
dan semakin besar pula pesta diselenggarakannya. Memotong dan memakan
babi biasanya dikaitkan dengan peristiwa penting seperti pembakaran
mayat, perkawinan dan ritus inisiasi. Hingga kini babi masih tetap
digunakan sebagai hadiah emas kawin. Di kawasan Wisselmeren (Danau
Paniai) suatu percobaan yang dilakukan seorang Belanda dengan
menyilangkan babi jenis Belanda dengan babi lokal hampir berakhir
menjadi bencana. Seorang Fransiskan bernama Sibbele Hylkema yang dari
tahun 1961 sampai 1969 tinggal di tengah suku Ngalum di Pegunungan
Bintang dan seorang mantan pegawai pemerintah bernama H.L. Peters yang
dari tahun 1959 sampai 1964 hidup di tengah suku Dani di Lembah Baliem
melakukan penelitian terdahap babi dan berhasil mempublikasi hasil penelitian.
1. Babi di kawasan Wisselmeren (Danau Paniai)

Pesta
babi (Joewò)merupakan peristiwa sosial yang penting bagi orang Papua.
Babi mendapat tempat sentral dalam kebudayaan mereka. Kekayaan orang
tergantung dari jumlah babi yang dimiliki. Selama berabad-abad lamanya
babi bagi orang Papua merupakan harta miliknya yang paling penting. Babi
malahan dianggap mereka sebagai anak sendiri. Dalam tahun 50an orang
Belanda datang ke kawasan Wisselmeren (Danau Paniai), dengan tujuan
mempercepat laju perkembangan orang Papua yang tinggal di daerah
tersebut dengan cara meningkatkan mutu babi yang bebas lepas mengais-ais
di daerah sana. Dari negara mereka orang Belanda mengimpor babi
berbentuk bundar-bundar, berwarna kemerah-mudaan, lebih besar daripada
babi lokal yang kurus-kurus. Tadinya mereka bermaksud menyilangkan kedua
macam babi tersebut agar tercipta suatu jenis yang lebih banyak dagin

gnya.
Tetapi hasilnya hampir berakhir dengan bencana. Babi impor tadi membawa
masuk virus sehingga babi orang Kepauku tertular virus ini. Jumlah babi
setempat cepat berkurang, karena banyak yang mati. Hal ini merupakan
malapetaka karena babi bukan saja merupakan simbol kedudukan seseorang
tetapi juga sumber penting untuk makanan berprotein. Kegiatan pemotongan
babi hanya dilakukan pada peristiwa khusus yang sering disertai upacara
berhari-harian yang dihadiri pula oleh suku-suku sahabat di sekitar
daerah itu, sehingga demikian dapat menjalinkan hubungan perdagangan dan
melakukan perjanjian. Pesta babi merupakan puncak dalam kehidupan
sosial suku Kepauku. Dengan demikian kematian babi membawa kerugian
besar dalam hubungan sosial. Tidak lama berselang setelah orang kulit
putih dituduh sebagai pemasok roh-roh jahat, karena orang Kepauku selalu
mengasosiasikan penyakit dengan amarahnya roh jahat.
2. Peranan babi di Daerah Pegunungan

Arti
babi bagi masyarakat Dani di daerah Pegunungan Tengah amat penting dan
bersifat multifaset. H.L. Peters menulis dalam bukunya ‘Beberapa bab
dalam kehidupan sosial-religius kelompok Dani (1965): “Tak bisa
dikatakan bahwa orang Dani memakan daging babi secara reguler. Orang
Dani jarang memotong babi hanya dengan tujuan ingin makan dagingnya.
Memotong dan memakan babi selalu terikat pada peristiwa sosial yang
penting, seperti upacara pembakaran mayat, perkawinan, dan upacara
inisiasi. Kecuali kalau babinya mengidap penyakit atau merupakan hasil
curian; dalam hal tersebut dagingnya harus dikonsumsi secepat mungkin.
Kesempatan memakan babi yang paling sering berulang adalah pada upacara
pembakaran mayat. Kesempatan unik lain dimana setiap orang baik laki
maupun perempuan ataupun anak memakan babi selama beberapa minggu
berturut-turut adalah pada pesta babi besar yang diadakan secara
berkala. Jumlah daging yang dimakan dalam waktu pendek, nyaris mustahil
untuk dipercaya”

S.
Hylkema menyatakan tentang peranan babi dalam masyarakat Ngalum:
“Meskipun, dalam kaitan dengan babi, bukan merupakan hal biasa untuk
berbicara tentang kedudukan sosial, namun dalam kaitan tersebut tempat
yang diberikan orang kepada babi dalam masyarakat justru demikian
maksudnya. Babi memang bermanfaat untuk orang, tetapi di samping itu
orang bersedia membuat dirinya berjasa terhadap babi: babi dihormati.
Lazimnya sebagian besar cara bercocok tanam ikut ditentukan oleh
kehadiran babi.
Karena keberadaan hewan ini orang bahkan memagari lokasi di dalam mana
mereka menanami batata (ubi),makanan utama mereka sedangkan seluruh sisa
lembah disediakan untuk babi dimana dia bebas berkeliling dan mengaisi
makanannya.” Seperti pada suku Ngalum, pada suku Danipun siang hari babi
berjalan lepas di luar dan mencari makanan sendiri. Malam hari mereka
diberi makanan batata yang dibawa perempuan dari kebun.
3. Status sosial dan alat tukar

Dari
sudut pandang sosial, babi itu sangat penting. Jumlah babi yang
dimiliki seseorang, ikut menentukan bagaimana dia dipandang oleh orang
lain. “Orang yang penting atau , gain, memiliki banyak babi. Orang yang
tidak memiliki atau hanya memilikinya dalam jumlah kecil tidak bisa jadi
gain,” tulis Peters. Babi buisa dipakai sebagai alat tukar: jasa,
prestasi, utang dan kewajiban dibayar dengan babi atau daging babi. Babi
juga main peranan penting pada upacara agama ketika satu atau lebih
ekor babi dipotong.
Salah satu tugas perempuan adalah beternak babi jinak. Menurut Hylkema
hanya dalam beberapa perkecualian babi dapat menjadi milik perempuan,
“karena perempuan mengurus babi, maka ia juga dapat

menentukan
haknya. Adalah tugasnya pada waktu tertentu memberi makanan kepada
hewan tersebut, melepaskannya di pagi hari, dan memasukkannya kembali
pada malam hari di dalam bangunan tambahan disamping pintu masuk khusus
bagi anggota wanita di rumah keluarga.” Babi merupakan milik pribadi
seorang laki-laki. “Tetapi perempuan dan anak dapat memiliki babi juga,”
tulis Peters. “Di desa Anelakak seringkali orang menunjuk ke babi-babi
sembari menyebutkan nama pemiliknya, di antaranya juga nama perempuan
dan anak-anak.” Namun beberapa narasumber dari Peters menyatakan
perempuan dan anak tidak dapat memiliki babi. “Menurut mereka, lelaki
hanya menyerahkan babinya kepada perempuan dan anak untuk diuruskan
saja, yang selanjutnya dianggap oleh mereka sebagai miliknya sendiri,”
dijelaskan Peters.
4. Perempuan dibayar dengan babi“

Di
daerah Wisselmeren (Danau Paniai) harga seorang perempuan maupun babi
diungkapkan dengan kerang Kauri. Di daerah lain malah harga seorang
perempuan langsung diungkapan dalam jumlah ekor babi,” demikian tulis
“Bapak bangsa Papua,” Jan van Eeckhoud dalam bukunya: Vergeten Aarde
(Tanah yang Terlupakan). “Pada proses pengolahan sagu selalu laki yang
menebang pohon dan membelah batangnya. Mencacah hati batang yang berisi
pati kadang merupakan pekerjaan laki, kadang-kadang pekerjaan perempuan,
tetapi selalu perempuanlah yang mencuci dan mengambil patinya. Apa
perempuan menjadi hewan pemikul? Atau apa lagi? Kalau seorang

lelaki
memikul beban, pada saat kritis ia tidak bisa menggunakan senjatanya.
Pada umumnya kaum lelaki tidak pernah berfikir untuk melakukan pekerjaan
perempuan. Dalam masyarakat Papua terdapat banyak perselisihan tentang
perempuan; tetapi lebih banyak lagi tentang babi. Di Pegunungan Tengah
jarang ditemukan hewan liar dan penduduk di daerah hutan rimba di Papua
hanya menangkap anak babi yang kemudian diternakan hanya untuk
dagingnya. Mengurus babi merupakan tugas penting. Tidak jarang orang
melihat perempuan menyusui seekor anak babi pada salah satu dadanya dan
kadang-kadang sekaligus anaknya sendiri pada dada lainnya,” demikian
mantan residen Nieuw-Guinea Belanda.
5. Pengebirian babi.

Agar
tumbuh dengan cepat kebanyakan babi jantan dikebiri (wam oupalygen
wakanin). Operasi ini dilakukan oleh kaum lelaki – menurut Hylkema juga
oleh perempuan – yang menguasai tekniknya. “Babi yang bersangkutan
diikat dengan kepalanya ke bawah pada sebuah tiang,” tulis Peters.
“Sembari seorang laki menutup erat-erat mulut babi itu sedangkan
beberapa laki lain memegang kakinya, ahli itu dengan bantuan pisau bambu
kecil memotong buah pelirnya, selanjutnya luka-lukanya ditutup dengan
jahitan serat dan kadang-kadang dioles dengan lumpur abu-abu. Beberapa
babi jantan disisihkan untuk diternakkan. Rupanya sehubungan dengan ini
orang hendak mencegah silang dalam. Pernah saya lihat beberapa orang
dari desa lain membawa babi ke Anelakak untuk dipacek oleh pejantan dari
Takalek. Apakah untuk hal ini orang itu disuruh bayar sesuatu, misalnya
dalam bentuk anak babi dari babi yang dipacek, saya tidak tahu.”
6. Memotongan babi

“Memotong
babi merupakan tugas laki-laki. Bahwa perempuan memiliki hak turut
bicara, terungkap dari fakta dia harus mengurung binatang tersebut dan
melemparkan batata di depannya supaya lelaki dapat mengarahkan
bidikkannya dengan baik. Segera habis dipanah, binatang tersebut
dipotong-potong agar darahnya tidak jadi dingin dan membeku,” tulis
Hylkema. Peters menulis bahwa pada suku Dani proses memotong dan
menyiapkan babi di seluruh daerah lembah mengikuti cara tradisional yang
sama. “Orang memotong babi dengan cara memanahinya dari jarak dekat,
kira-kira 10 cm., ke arah daerah jantungnya, setelah itu dalam waktu
pendek binatang tersebut mati kemungkinan karena mati lemas. Selanjutnya
buntut dan kuping dipotong, dan rambut dihanguskan atas api kayu. Pada
proses pemotongan dagingnya orang bekerja dengan urutan sebagai berikut:
pertama-tama dalam satu potongan utuh dipotong kulit bagian perut
termasuk lemak dan otot yang lekat padanya ditambah rahang bawah;
kemudian selaput dan

otot
yang melingkari isi perut (jeroan) dilepaskan dari sisi perut; pada
langkah berikut dikeluarkan isi perut yang masih terbungkus dalam
selaput dan otot tadi. Oleh laki-laki lain, isi perut ini dibuka;
ususnya dibersihkan dan dicuci oleh perempuan dewasa dan anak perempuan.
Sisa babinya, jadi seluruh kulit punggungnya termasuk lemak dan otot
yang lekat padanya ditambah rahang atas, kaki, ruas tulang belakang
punggung ditinggal dalam satu potongan. Bagian ini disebut wam-oat.
Semua organ seperti jantung, hati, paru-paru, dst., berikut semua
potongan daging dijemur pada tiang-tiang di bawah matahari supaya
kering. Sisanya diberi giliran pertama untuk dimasukkan ke dalam lubang
pembakaran,” tutur Peters.
7. Penyiapan daging babi

Lubang
pembakaran merupakan galian lubang dangkal di dalam tanah, dengan
beragam garis tengahnya dari setengah sampai satu meter. Peters menulis:
“Pada dasar lubang sejumlah ikat rumput yang menjulang tinggi
diletakkan melewati pinggir bagian atas lubang. Di atas rumput tadi
diletakkan batu-batu yang sebelumnya dipanaskan atas api sampai batu
berpijar; di atas lapisan batu kemudian diletakkan sayur, umbi-umbian,
lalu sayur lagi (sering daun batata) atau daun semacam pakis, lalu di
antaranya diletakkanlapisan batu panas lagi, selanjutnya di atas
lapisan tersebut potongan-potongan daging dan di atasnya lagi sayuran;
keseluruhannya ditutup dengan lapis-lapis kulit punggung dan di atasnya
sedikit sayur dan batu panas lagi. Lalu di atas ini semua dipercikkan
air, dan setelah itu rumput yang menjulang tinggi tadi dilipat menutupi
semua batata, sayur, dan daging. Seluruhnya diikat erat lagi dengan
rotan panjang, dan di atasnya ditaruh batu dan potongan kayu.
Keseluruhan ini dibakar selama satu sampai satu setengah jam, lalu
dibuka. Maka semuanya benar-benar matang.”
Hylkema menulis bahwa lubang pembakaran biasanya berada di ruang yang
dikelilingi pagar dan terletak dekat rumah para lelaki. Peters menulis
bahwa khusus untuk upacara lubang pembakaran dibuat di luar, di
alun-alun desa dan orang makan di sana juga.
8. Pembagian makanan.

Potongan
besar daging babi dipotong-potong lagi untuk kemudian dibagikan kepada
para hadirin. Hylkema menulis bahwa pada suku Ngalum usus diperuntukkan
untuk perempuan dan bagian perut diperuntukkan untuk laki-laki. Ia sebut
bahwa di dalam bagian perut babi (kang-asum) maka asas hidup yang
paling kompak dan konkrit melekatkan diri. “Dengan memakan bagian perut
babi si pemakan dapat mengalami dan merasakan kekhasan dari cara hidup
yang jatuh kepada dirinya. Dalam hidupnya yang penuh ancaman dan
tantangan si pemakan untuk sesaat dapat mengikuti totalitas hidup, dan
merasa diri terangkat dalam kebahagiaan.” Batata dan sayuran juga dibagi
pada saat yang sama sedangkan daging yang bergantungan pada tiang
dimakan pada hari-hari berikut. Batata biasanya disiapkan dengan cara
dibakar dalam abu. Dalam pembagian makanan dijaga betul bahwa setiap
orang ikut kebagian sesuatu. Sudah pasti bahwa selama upacara pesta
besar dimana banyak orang hadir, para lelaki berkeliling di antara
kerumunan orang untuk menjaga agar tiap orang mendapat bagian.
9. Kaitan:
- Film PACE dari Romo Camps:
Pesta babi di Lembah Baliem pada tahun 1974
- Film pendek dari Age Postumus,
Oktober 2007: Orang Papua masak babi
- Film pendek di Ed’s Viewmaster:
Pesta babi 2004
- Film pendek Adria Brochen:
Pesta babi selama perjalanan merantau ke Lembah Baliem 2007
- Artikel tentang patung kayu dari Asmat: Tokoh nenek moyang atas babi
- Dari koleksi Francis’ Web: Ras-ras babi
10. Narasumber
- S. Hylkema o.f.m., Laki dalam tas jala – orang – dan gambaran tentang
dunia dari orang Ngalum (Pegunungan Bintang), s’ Gravenhage 1974
- H.L. Peters, Beberapa bab dalam kehidupan sosial-religius suatu kelompok Dani (Disertasi), Venlo, 1965
- Jan van Eechoud, Tanah yang terlupakan: Papua, Amsterdam, De Boer, 1957
- Brongersma, L.D. en G.F. Venema, Hati putih Papua. Dengan ekspedisi
Belanda ke Pegunungan Bintang, Amersterdam: Scheltens & Giltay, 1960
- L. Pospíšil: Orang Papua Kapauku dari Iriang Barat, dalam: George a Louise Spindler, Rinehart & Winston, New York, 1963
- L.F.B. Dubbeldam, ‘Devaluasi kerang kawrie Kapauku sebagai suatu
faktor disintegrasi sosial’ dalam: Niew Guinea: Pegunungan Tengah,
American Anthropologist, vol. 66, no.4, Bagian 2, 1964
- Komentar dan nasihat: Nancy Jouwe